“DUAAAAAAAAAAAAAAAAR!!!!!”
“Klepekeklepekklepekklepekklepek”
Suara letusan keras membangunkanku dari tidur lelap. Mas Wahyu dengan sigap langsung mengerem mobil dan berhenti dipinggir jalan. Kami semua saling memandang, saling bertanya apa yang terjadi.
“Ban nya pecah. Gak satu, tapi dua ban pecah.” ucap Pak Agus sambil garuk-garuk kepala.
“Hah seriusan Pak?”.
Tanpa komando, kami langsung keluar dari mobil dan melihat kondisi ban. Mengenaskan. Dua buah ban sobek dan hancur, sepertinya diakibatkan karena masuk kedalam lubang dan tergesek dengan pinggiran aspal yang tajam.
Kami bergegas mengambil peralatan di bagasi, lalu membongkar ban serep yang ada dibawah bagasi mobil. Ternyata, kondisi ban serep jauh lebih parah. Hancur sehancur-hancurnya.
“Gila, mau roadtrip dikasih mobil dengan serep kaya gini.” ucap Pak Agus dengan nada kesal.
“Bisa-bisa besok nih sampai Entikong.” jawab Mas Wahyu.
Setelah berunding, kami memutuskan untuk membawa ban yang hancur ke kota terdekat. Ternyata tidak mudah membongkar ban, karena dongkrak yang di ada di dalam mobil juga rusak. Butuh tenaga lebih untuk mengangkat mobil. Bahkan kami harus saling bergantian hanya untuk sekedar mengungkit dongkrak.
Setelah hampir setengah jam, dengan susah payah kami berhasil mengangkat mobil, lalu melepas ban. Setelah itu, kami berdiri untuk mencari tumpangan menuju arah kota.
Tiba-tiba, datang seorang tukang timun. Sambil menunggu datangnya mobil, kami mengobrol dengan si tukang timun. Kami menjelaskan maksud dari perjalanan kami.
“Iya Pak, kami mau ke Entikong..”.
“Hah, ke Entikong?” tanya tukang timun dengan raut muka penuh tanda tanya.
Adakah sesuatu yang salah?
Raut wajah tukang penjual timun itu terlihat kebingungan saat kami menjelaskan tentang tujuan kami, yaitu Entikong.
“Adek mau ke Entikong to?” tanya si bapak.
“Iya Pak, mau ke Entikong. Masih jauh ya Pak?” tanyaku.
“Lho Adek ini salah jalan. Harusnya tadi ambil yang ke arah Sosok. Ini Adek kalau lurus terus ke arah perbatasan Jagoy”. jawab si Bapak.
“Wah masa sih Pak? Coba saya lihat dulu” jawabku setengah tak percaya.
Benar saja, GPS menunjukkan kami salah jalur. Yang seharusnya kami mengambil jalur menuju jalan lintas Bengkayang ke Sosok, kami malah melaju ke jalur Jagoy. Blunder.
Tiba-tiba tebersit sesuatu dalam benak saya. Mungkin saja ini semua terjadi karena kami di ingatkan kalau kami salah jalan. Andai kata ban tidak pecah, mungkin kami akan bablas sampai perbatasan Jagoy dan gagal mencapai Entikong. Tidak mungkin kami kembali lagi karena putar balik dari Jagoy membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sementara Rizki dan Pak Agus pamit setelah berhasil memberhentikan sebuah pick up untuk ikut menumpang sampai Bengkayang demi mengganti ban, saya dan Mas Wahyu berbincang dengan Pak Basirun, si tukang timun.
Banyak hal yang kami bincangkan selagi menunggu Pak Agus dan Rizki. Sembari menikmati timun, kami duduk dan saling bercerita. Yang awalnya kami kebingungan apa yang harus dilakukan selama menunggu tim kembali dari kota, kehadiran Pak Basirun dan timun segarnya menjadi oase ditengah gurun pasir.
Singkat cerita dua jam kemudian, Rizki dan Pak Agus kembali dari kota, membawa ban yang sudah diganti. Kami harus mengganti tiga buah ban, karena perjalanan menuju Entikong tidaklah sembarangan. Jalur menuju Entikong rata-rata didominasi oleh perkebunan sawit, yang jika malam sama sekali tak ada penerangan. Tak ada yang berani mengambil resiko tanpa ban dan serep yang terjamin kekuatannya.
Saatnya melanjutkan perjalanan menuju Entikong, semoga semuanya aman jaya!